Akasyah dan Ayu kini kerap disebut sebagai pasangan pengusaha muda penuh inspirasi. Sama-sama alumni Gontor—Akasyah dari Gontor Putra dan Ayu dari Gontor Putri—keduanya bukan hanya dipersatukan oleh cinta, melainkan juga oleh perjalanan panjang penuh perjuangan, onak duri, sekaligus keberkahan.
Mereka datang dari latar belakang berbeda, namun memiliki garis nasib serupa. Akasyah, bernama lengkap Jajang Muhammad Nur Akasyah, lahir dari keluarga Sunda asal Tasikmalaya. Ia menamatkan pendidikan di Gontor pada tahun 2008. Seusai pengabdian di Magelang, ia menyimpan cita-cita sederhana: melanjutkan kuliah. Namun harapan itu pupus setelah ayahnya bangkrut karena ditipu ratusan juta rupiah. Seluruh hasil usaha keluarga lenyap, menyisakan hutang besar dan duka mendalam. Mimpi kuliah terkubur, diganti kenyataan pahit sebagai guru ngaji di sebuah pondok tahfidz di Bekasi.
Di tempat itulah jalan takdir mempertemukannya dengan Fitri Rahma Ayu, alumni Gontor Putri tahun 2009 asal Tuban, Jawa Timur. Ayu memiliki mimpi besar untuk melanjutkan kuliah di LIPIA. Ia pun menyiapkan diri dengan menghafal Al-Qur’an di pondok tahfidz dekat rumahnya. Namun kehidupan berbelok arah ketika usaha transportasi keluarganya runtuh setelah kecelakaan besar. Sebuah kontainer terguling di Garut, merenggut korban jiwa, dan menyeret keluarganya ke dalam pusaran masalah hukum yang panjang. Mimpi kuliah pun ikut kandas.
Dalam situasi rapuh itu, Ayu bertemu dengan Akasyah, guru ngajinya. Hubungan mereka tumbuh sederhana, jauh dari gemerlap.
“Aku nggak punya apa-apa untuk ditawarkan, Ayu,” ucap Akasyah suatu sore selepas setoran hafalan. “Cuma bisa ngajarin Qur’an. Kuliah pun gagal.”
Ayu tersenyum tipis, matanya berkaca-kaca. “Yang aku cari bukan harta, Syah. Tapi seseorang yang bisa menuntunku dekat dengan Allah.”
Kata-kata sederhana itu menjadi penguat. Di tengah tawaran perjodohan dengan ustadz pemimpin pondok, bahkan dengan putra seorang pengusaha sukses, Ayu memilih bersetia pada pemuda sederhana tersebut. Cinta mereka ditempa oleh berbagai ujian, namun justru di situlah kekuatan mereka tumbuh.
Kini, bertahun-tahun kemudian, pasangan ini berdiri tegak sebagai couplepreneur. Mereka mendirikan PT Koi Akasyah Gemilang, perusahaan kontraktor sarana olahraga berstandar nasional dan internasional. Dari lapangan futsal hingga jogging track, dari sarana panjat tebing hingga proyek besar untuk Kopassus di berbagai daerah—semuanya lahir dari tangan dingin mereka.
Siapa sangka, semua berawal dari hobi yang ditempa sejak mondok di Gontor. Akasyah aktif di Persida, ekstrakurikuler Tapak Suci, hingga mengikuti berbagai kejuaraan. Seusai mengajar Al-Qur’an, ia melatih bela diri di sekolah-sekolah. Dari sanalah ia mengenal dunia bisnis. Seorang alumni Gontor memperkenalkannya pada ilmu pemasaran daring. Dengan penuh semangat, ia mulai menjual baju olahraga bela diri secara online. Dari usaha baju, kemudian datang tawaran mengerjakan sarana olahraga.
Namun jalan kesuksesan tak pernah lurus. Ada proyek yang macet hingga ratusan juta rupiah. Ada keringat dan air mata di balik setiap pencapaian. Tetapi setiap kegagalan mereka jadikan guru, setiap rintangan menjadi pijakan. Bahkan saat pandemi Covid-19 melanda, ketika bisnis seragam olahraga sepi, mereka menemukan peluang baru: BIGGY PLUS, pusat pakaian big size. Tak disangka, pasar menyambut hangat dengan pesanan hingga ukuran 5XL–7XL. Dari kesulitan lahirlah peluang, dari keterbatasan lahir kreativitas.
Dalam membangun bisnis, perbedaan karakter justru menjadi kekuatan mereka. Ayu, dengan sifat ramah, humble, dan mudah akrab dengan siapa saja, kerap menjadi ujung tombak dalam negosiasi. Ia pandai mencairkan suasana, mengangkat obrolan santai, lalu perlahan mengarahkannya ke bisnis. Klien merasa nyaman, calon customer merasa yakin.
Sementara itu, Akasyah berada di sisi lain. Relatif pendiam, ia tidak banyak bicara, tetapi setiap kalimat yang keluar sarat pertimbangan. Ia tidak pernah mengambil keputusan gegabah. Di balik layar, ia menyusun konsep, menganalisis data, dan merancang strategi. Semua langkah bisnisnya dihitung dengan matang, seolah setiap peluang adalah peta yang harus dibaca cermat sebelum ditapaki.
Perpaduan keduanya menciptakan harmoni. Ayu yang penuh energi membangun jembatan komunikasi, sementara Akasyah yang tenang memastikan jembatan itu kokoh dan aman dilalui.
Dalam banyak kesempatan, Akasyah sering mengingat satu momen sederhana. Malam itu, setelah pesanan baju menumpuk dan ia kelelahan membungkus paket, Ayu datang membawa secangkir teh hangat.
“Capek ya, Syah?” tanya Ayu lembut.
“Capek… tapi bahagia. Karena kita berjuang bersama,” jawabnya dengan senyum lelah.
Mereka saling pandang. Saat itu keduanya menyadari, kebahagiaan bukan pada seberapa besar hasil, melainkan pada perjuangan yang dilalui bersama.
Kini, di puncak perjalanan mereka, rasa syukur tak pernah putus. Akasyah dan Ayu berbagi ilmu dengan mendampingi pengusaha pemula dalam mengoptimalkan website dan strategi penjualan. Mereka juga sedang merintis Pondok Tahfidz Bunayya di Anyer, Banten—sebagai wujud rasa syukur atas nikmat yang Allah titipkan.
“Bagi saya, bergabung dengan Forbis IKPM Gontor adalah nikmat besar,” tutur Akasyah. “Saya bisa belajar dari para senior, termasuk Ustadz Agus Maulana, Ketua Umum Forbis, yang bukan hanya pengusaha otomotif, tapi juga pendiri pondok wakaf Darul Falah dan anggota Badan Wakaf di beberapa pesantren.”
Dari kisah mereka, kita belajar bahwa cinta dan usaha bisa berjalan seiring. Jatuh bangun bukan alasan untuk menyerah, melainkan bekal untuk melangkah. Di tangan pasangan ini, mimpi-mimpi yang dulu terkubur kini tumbuh mekar, memberi manfaat bukan hanya untuk keluarga, tetapi juga untuk umat.