FORBIS.ID– Dalam sebuah pertemuan yang berlangsung santai di sebuah restoran di Kota Malang pada 21 April 2025, Bapak Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor, Prof. Dr. K.H. Amal Fathullah Zarkasyi, M.A., mengisahkan sebuah fakta sejarah yang jarang kita dengar tentang perjalanan TRIMURTI pendiri Gontor pada periode awal berdirinya Pondok Modern Darussalam Gontor dengan konsep Kulliyyatul Mu’allimin Islamiyah (KMI).
Menurut beliau, KH. Ahmad Sahal, KH. Zaenuddin Fananie dan KH. Imam Zarkasyi pernah pada suatu masa berkumpul di Pagar Alam, Sumatera Selatan. Di daerah bercuaca dingin yang berada pada ketinggian antara 400 hingga 3.400 mdpl, di kaki Gunung Dempo, yang merupakan gunung tertinggi di Sumatera Selatan, TRIMURTI menyatukan pikiran membahas ide konsep lembaga pendidikan Pondok Modern Darussalam Gontor.
Tidak disebutkan pada tahun berapa ketiga pendiri Gontor berkumpul di Pagar Alam, perkiraan penulis terjadi antara periode tahun 1930-1935, setelah Pak Sahal membuka kembali Gontor lama dengan sistem Tarbiyatul Athfal pada 1926 dan sebelum Kulliyyatul Mua’llimin Islamiyah (KMI) diterapkan di Gontor pada 1936.
Fakta sejarah yang jarang terungkap ini memicu Alumni Gontor Sumatera Selatan ingin menapak tilasi perjalanan TRIMURTI. Di antaranya, Guru Besar UIN Raden Fatah Palembang, Prof. Dr. Muhajirin, MA, Mudir Pondok Pesantren Daarul Kutub El-Gontori, Sumatera Selatan Ust. Muhaemin Ahmad Zaini, S.Pd., M.Si dan Ustadz Kuntum Khairu Basya, Mudir Pesantren Al Basya.
“Pagar Alam siap menjadi tuan rumah Napak Tilas TRIMURTI di Pagar Alam dalam rangka peringatan 100 tahun Gontor. Adalah sebuah kehormatan bagi kami alumni Gontor di Sumatera Selatan untuk bersilaturahmi dan berkumpul mengingat kembali perjuangan TRIMURTI dengan nilai-nilai luhur yang telah diwariskan,” kata Ust Muhaemin.
Napak Tilas TRIMURTI rencana akan digelar pada 29-30 Juni 2025 di Pagar Alam, dengan mengundang Pimpinan Pondok Modern Gontor dan Badan Wakaf, Prof. Dr. Husnan Bey Fananie, yang telah mengonfirmasi kesediaan untuk hadir.
“Pagar Alam dan beberapa daerah di Sumatera Selatan seperti Palembang, Prabumulih, Muara Enim, Lahat, Tebing Tinggi, Lubuk Linggau hingga Bengkulu adalah tempat-tempat bersejarah. Di daerah-daerah tersebut Pak Fananie meninggalkan jejak peradaban Islam, beliau berdakwah menyebarkan nilai-nilai Islam. Saya sangat mengapresiasi acara yang digagas alumni Gontor Sumsel ini,” kata Pak Husnan.
KH. Zainuddin Fananie adik kandung KH. Ahmad Sahal dan Kakak Kandung KH. Imam Zarkasyi memiliki ikatan sejarah sangat kuat dalam dakwah menyebarkan ajaran Islam di Palembang dan Sumatera Bagian Selatan (Sumbagsel).
Pada tahun 1926, KH. Zainuddin Fananie yang kala itu masih berusia 21 tahun ditugaskan KH Ibrahim, Ketua Umum Muhammadiyah saat itu, untuk meluaskan jaringan Muhammadiyah seperti yang diamanatkan kongres Muhammadiyah ke-15.
KH. Zainuddin Fananie yang berasal dari Desa Gontor, Ponorogo diangkat sebagai Konsul Muhammadiyah Sumatera Selatan dengan menempati kantor di Palembang. Pengangkatannya sebagai Konsul Muhammadiyah tersebut merupakan titik tolak kegemilangan karier Fananie muda.
KH. Zainuddin Fananie bisa dikatakan tergolong pemuda yang sangat cepat menjalani karier pekerjaan setelah menyelesaikan sekolah. Dia menjadi guru di HIS Muhammadiyah Palembang sejak 1926-1932 dan mengajar di School Opziener di Bengkulu sampai tahun 1934.
Pergaulan KH. Zainuddin Fananie diketahui sangat luas, terutama dengan para tokoh-tokoh pergerakan yang punya pengaruh dalam pergerakan pra Indonesia merdeka. Di Sumatera Selatan, KH. Zainuddin Fananie bergabung dengan para aktivis Islam modernis, terutama di 4 Ulu bersama H Anang. Di 4 Ulu inilah Muhammadiyah memusatkan kegiatan pendidikan sekaligus basis pergerakannya sejak era 1930-an hingga pasca kemerdekaan Republik Indonesia.
Bukan saja aktivis Muhammadiyah, KH. Zainuddin Fananie juga termasuk tokoh muda reformis, beliau bergabung dengan Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) dan termasuk salah satu tokoh pendiri PSII Sumatera Selatan. Dalam sebuah literatur disebutkan, KH. Zainuddin Fananie merupakan salah satu tokoh PSII yang memiliki pengaruh sampai dengan periode Proklamasi Kemerdekaan RI.
KH. Zainuddin Fananie memiliki kedekatan dengan seorang tokoh bernama H. Mohammad Akil Kahir, seorang pedagang besar di Palembang. Keluarga H. Akil dikenal luas sebagai pembela Islam modernis melalui sekolah agama yang didirikan di Kota Palembang. H. Akil juga memberi bantuan keuangan dalam pembangunan sekolah HIS Muhammadiyah di kampung 17 Ilir pada 1935.
H. Akil ini disebut-sebut sebagai pendukung gerakan Kaum Muda (reformis), yang menggunakan sekolah Aliyah Diniyah sebagai markas kegiatan. Firma H. Akil banyak menyokong dana bagi kepentingan Sarekat Islam dan Muhammadiyah pada akhir tahun 1920-an.
Setiap terjadi konflik antara kaum muda dan kaum tua yang banyak disokong pemerintahan kolonial, Muhammadiyah dan PSII tampil sebagai juru bicara kaum modernis Islam sejak tahun 1926. Sebagai da’i muda, KH. Zainuddin Fananie juga aktif menyebarkan agama Islam dan berjuang menyampaikan nilai-nilai revolusi kemerdekaan.
KH. Zainuddin Fananie aktif mengajar dan menulis banyak hal tentang pendidikan, rumah tangga, pembangunan karakter dan jiwa hingga ke beberapa daerah pelosok. KH. Zainuddin Fananie menyampaikan pesan dari Palembang di setiap kota kecil yang disinggahi mulai dari Prabumulih, Lahat, Tebing Tinggi, Pagar Alam dan Lubuk Linggau.
KH. Zainuddin Fananie tanpa lelah terus bergerak dengan penuh semangat mengobarkan kepada setiap anak bangsa saat itu agar terus bergerak melakukan perubahan untuk memancangkan keluhuran Islam dan kesejahteraan pemeluknya. KH. Zainuddin Fananie diutus ke Sumatera tidak sendirian, dia berangkat bertiga bersama dengan Hamka dan Malik Siddiq. Ketiganya ditugasi untuk berdakwah dan mengajar di wilayah berbeda.
KH. Zainuddin Fananie diutus sebagai konsul di wilayah Sumatera Bagian Selatan (Palembang, Pagar Alam, Lahat, Bengkulu, dan Lubuk linggau). Hamka sebagai konsul di wilayah Sumatera Bagian Timur (kemudian Sumatera Bagian Barat), dan Malik Siddik sebagai konsul di Sumatera Bagian Tengah.
Ketiganya dikirim sebagai mubalig dan guru agama sekaligus mendirikan cabang-cabang Muhammadiyah di Sumatera. Ketiganya juga aktif dalam pergerakan kemerdekaan dan nasionalisme Indonesia.
Kader KH. Zainuddin Fananie tentunya sudah banyak di belahan Nusantara ini, dan Sumatera Selatan pernah menjadi persinggahan Pak Fananie bersama Pak Sahal dan Pak Zar untuk berkumpul menyatukan ide dan pemikiran cemerlang melampaui zamannya untuk menciptakan konsep pendidikan Islam modern yang telah terbukti sukses selama 100 Tahun menciptakan kader-kader umat yang tangguh berlandaskan akhlaqul karimah.
Kini tiba masanya kita belajar dari sejarah kekompakan TRIMURTI dengan cara yang cerdas, sebagaimana nasehat Pimpinan Pondok Modern Gontor, KH. Hasan Abdullah Sahal, “Kita Harus Cerdas Menyikapi Sejarah, Sebab Kita Akan Menciptakan Sejarah.”