Inspirasi ~Admin Forbis

“Warisan Tiga Kehormatan: Petuah Ayahanda KH Hasan Abdullah Sahal tentang Menjadi ‘Alim, Shalih, dan Sugīh”

“Warisan Tiga Kehormatan: Petuah Ayahanda KH Hasan Abdullah Sahal tentang Menjadi ‘Alim, Shalih, dan Sugīh”

Oleh: A. Jameel

Pesan ini disampaikan oleh KH. Hasan Abdullah Sahal, salah seorang Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor, dalam Forum Bisnis (FORBIS) IKPM Gontor, di acara Reuni Alumni dan Silaturahmi Pengusaha Muslim Gontor yang berlangsung di Pondok Modern Gontor, Ponorogo, Jawa Timur, dan disiarkan ulang oleh Gontor TV.

Di hadapan para santri, alumni, dan wirausahawan muslim, beliau menuturkan dengan ketenangan khasnya:

“Jadilah ‘alim, shalih, sugīh! supaya tidak mudah bergantung pada orang lain, tidak menggantungkan diri kepada orang lain, dan tidak diremehkan oleh orang lain.”

Beliau tersenyum, memandang hadirin (para santrinya) penuh kasih:

“Orang tua itu kalau ngomong sederhana, tapi benar juga. Tes… tes… ternyata benar juga. Simpel saja, simpel itu.”

Kalimat yang tampak ringan itu menyimpan arah hidup yang mendalam. Dalam tiga kata itu — ‘alim, shalih, sugīh — ada keseimbangan yang diajarkan Gontor sejak awal: berilmu dalam berpikir, beramal dalam hidup, dan mandiri dalam bekerja.

‘Alim: Terang yang Menuntun

Menjadi ‘alim bukan sekadar tahu, tapi menjadi cahaya di tengah gelapnya zaman. Ilmu bukan hanya alat bicara, melainkan penuntun langkah.

Allah SWT berfirman:

يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
“Allah meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.”
(QS. al-Mujādalah [58]: 11)

Ilmu tanpa amal hanyalah kata; ilmu dengan amal menjadi cahaya. Dan para guru Gontor mengajarkan bahwa ilmu bukan untuk kebanggaan, tapi untuk pengabdian.

Shalih: Kebaikan yang Menyebar

Setelah berilmu, jadilah shalih — orang yang baik, lurus, dan menebar manfaat. Keshalihan bukan hanya tampak di sajadah, tetapi dalam setiap jejak langkah. Ia bukan hanya tampak dari banyak puasa tapi karya nyata, ia harus diwujudkan dalam kehidupan sosial dan bernegara.

Orang shalih harus merenungi apakah kehadirannya bermanfaat bagi sekitar, atau malah menjadi madharat. Sebab ia ingin mengamalkan sabda Rasulullah SAW:

خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain.”
(HR. Ṭabarānī)

Ilmu tanpa akhlak menyesatkan; amal tanpa keikhlasan menjadi hampa. Kebaikan yang paling indah adalah yang dilakukan tanpa berharap dikenal — hanya ingin dilihat oleh Allah.

Sugīh: Kaya yang Memuliakan

Dan jadilah sugīh, bukan sekadar kaya harta, tapi kaya hati, cukup diri, dan mulia dalam memberi. Kiai Hasan menekankan bahwa sugīh adalah simbol kemandirian seorang mukmin. Ia tidak menjadi beban bagi orang lain, bahkan menjadi penopang bagi sesamanya.

Nabi SAW bersabda:

الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى
“Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah.”
(HR. al-Bukhārī dan Muslim)

Dalam mahfuzhat santri Gontor disebutkan:

العَامُّ يُفَضِّلُكَ بِالمَالِ، وَالخَاصُّ يُفَضِّلُكَ بِالعِلْمِ
“Orang awam memuliakanmu karena harta, sedangkan orang khusus memuliakanmu karena ilmu.”

Kehormatan bukanlah hasil dari meminta, tapi buah dari memberi. Dan memberi hanya bisa dilakukan oleh orang yang cukup, baik secara hati maupun harta.

Simpel Tapi Benar

KH. Hasan menutup pesannya dengan kehangatan:

“Ceritanya begitu. Simpel saja. Simpel itu. Orang tua kalau ngomong sederhana, tapi benar juga.”

Inilah warisan khas pesantren; petuah yang pendek, tapi menembus hati. Di dalamnya tersimpan kesederhanaan yang melahirkan kekuatan, dan kemandirian yang melahirkan kehormatan.

Tiga kata yang diucapkan dengan ringan di podium FORBIS itu kini menjadi tiga pilar hidup bagi para alumni:

  • ‘Alim dalam nalar
  • Shalih dalam amal
  • Sugīh dalam usaha

Jangan hanya pandai, tapi jadilah orang baik. Jangan hanya baik, tapi jadilah orang yang kuat dan cukup. Sebab ilmu tanpa amal tak memberi cahaya, dan amal tanpa kemandirian merendahkan harga diri.

Generasi muslim harus jadi insan yang ‘alim dalam berpikir, shalih dalam berbuat, dan sugīh dalam memberi, sebab itulah kehormatan sejati yang tidak bisa dibeli, hanya bisa diwariskan dengan teladan.

Kehormatan itu tidak diminta, tapi dibangun dengan ilmu dan amal. Orang yang cukup tidak pernah diperbudak oleh dunia, dan orang yang memberi tidak pernah kehilangan apa-apa.

Hidup yang bermartabat adalah hidup yang tidak menggantungkan diri pada manusia, tapi bersandar penuh kepada Allah. Di atas hanya Allah di bawah hanya bumi, ilmu menerangi jalan, amal menuntun langkah, dan kecukupan menjaga kehormatan.