“Saya ketemu dengan pemilik Facebook, yang namanya Mark Zuckenberg, saya diajak saat itu main pingpong, tapi tidak ada bola pingpongnya, tidak ada meja pingpongnya, pakai kacamata oculus kemudian main bersama, sama kayak main pingpong persis 100 persen, tak, tok, tak, tok, keringetan juga,”
“Ini baru awal, nantinya semuanya akan virtual, semuanya akan muncul yang namanya metaverse, restoran virtual, kantor virtual, wisata virtual, mal virtual, hat-hati menyikapi ini. Nanti semuanya dakwah virtual, pengajian virtual, tapi betul-betul kayak kita bertemu seperti ini, bukan seperti sekarang yang masih vicon.
Pernyataan tersebut disampaikan Presiden Jokowi saat sambutan di pembukaan Muktamar NU di Lampung pada 27 Desember 2021 lalu.
Metaverse tiba-tiba kini jadi hype, tokoh dunia, para pakar, pengusaha pemilik perusahaan besar, politikus baik lokal maupun internasional sedang hot membicarakan metaverse.
Pemicunya tak lain karena pernyataan Mark Zuckenberg yang mengumumkan perubahaan nama perusahaan teknologi miliknya dari Facebook berganti Meta. Mark juga mengumumkan akan mengembangkan teknologi Metaverse yang diyakininya akan mengubah peradaban manusia.
Metaverse juga disebut-sebut sebagai dunia tempat tinggal baru bagi manusia tanpa harus meninggalkan titik pijak bumi. Dia bukan planet ruang angkasa tapi ruang virtual yang bisa dimasuki manusia dalam bentuk avatar dan memungkinkan berinteraksi dengan avatar lain untuk melakukan berbagai hal seperti layaknya di dunia nyata.
Semua diwujudkan secara virtual melalui integrasi dari media sosial, virtual reality (VR), augmented reality (AR), artificial intellegent (AI) cryptocurrency dan berbagai perangkat teknologi yang sedang hype saat ini.
Pengertian gampangnya, apa yang melekat pada diri manusia dari suara hingga kebiasaannya akan diterjemahkan oleh teknologi secara virtual secara real time dan bisa interaktif. Bahkan sangat memungkinkan melakukan transaksi ekonomi dengan sistem cryptocurrency yang akhir-akhir ini heboh dengan mata uang Bitcoin.
Metaverse saat ini memang belum ada, namun sudah banyak yang berlomba menciptakan dunia virtual tersebut. Pemilik Facebook, Microsoft, Google hingga Nike bahkan di dalam negeri sendiri sudah ada perusahaan yang ikut dalam perlombaan bikin metaverse.
Dalam hal ini ada dua golongan besar yang beda konsep tentang metaverse. Pertama, mereka yang menginginkan hanya ada 1 metaverse sehingga nantinya kita tidak perlu pusing jika ingin berkunjung ke metaverse lain, kedua, mereka yang menginginkan ada banyak metaverse sesuai dengan selera masing-masing.
Siapapun mereka para pencipta ini sedang berlomba untuk tampil duluan dengan tujuan menguasai pengikutnya nanti. Game play di Metaverse ini memang sangat memungkinkan untuk jadi penguasa dalam segala hal.
Misal dalam aspek ekonomi, di Metaverse, si pembuat adalah pemilik lahan tak terbatas yang mereka ciptakan sendiri. Lalu, siapapun yang mau masuk ke lahan tersebut harus membeli seperti beli tanah di dunia nyata.
Lahan itu bisa dipakai pembeli untuk dibikin apapun, misal, pembeli adalah pemilik mal, hotel, toko, arsitek atau petani di dunia nyata, maka dia bisa bikin mal, toko, hotel atau apapun di metaverse sesuai dengan keinginannya.
Lahan yang sudah dibeli bisa juga disewakan ke avatar lain yang baru datang. Jika demikian, mungkin di awal harga lahan di metaverse masih murah tapi nanti ketika penghuninya sudah ramai harganya akan tambah mahal dan berlaku sistem ekonomi seperti di dunia nyata.
Itu baru contoh dari aspek ekonomi. Metaverse yang diyakini akan mengubah peradaban manusia hampir dipastikan akan memiliki tatanan tersendiri tentang sosial, politik, keamanan, pendidikan, budaya dan agama.
Disinilah pentingnya kita bersiap dimana kita memposisikan diri. Di komunitas pesantren contohnya, bisa dibayangkan nanti bagaimana kita bisa membangun pesantren di metaverse.
Namun sebelum melangkah jauh kesana, pasti akan ada perdebatan sengit dibahsul-masailkan solusi diterima tidaknya metaverse bagi pendidikan model pesantren.
Dengan semakin canggihnya internet, bukan tidak mungkin pendidikan pesantren akan berpindah dari dunia nyata ke dunia virtual.
Namun, apakah hubungan antara santri dengan Kiai yang merupakan ciri ke khasan dan kesakralan pesantren bisa diganti dengan kiai avatar?
Apalagi pesantren selama ini dikenal sebagai lembaga pembentuk karakter generasi yang akan datang. Transfer keilmuan di pesantren bukan hanya lewat komunikasi tapi juga lewat percontohan perbuatan yang luhur dari Kiainya sebagai sentral figur.
Dewasa ini kita masih patut bersyukur sebab sudah banyak bermunculan pesantren yang melek digital. Setiap pesantren meski tidak semua, kini sudah punya website dan aktif upload kegiatan pesantren lewat media sosial.
Para penceramah juga sudah mulai adaptif dengan teknologi. Mereka tidak lagi kaku harus ceramah di atas mimbar tapi banyak yang punya chanel video dan penontonnya ternyata lebih banyak di chanel youtubenya.
Maka, tidak mustahil jika teknologi metaverse ini disebut sebagai the next chapter internet, pada saatnya nanti kita akan melihat para kiai avatar memimpin tahlilan di metaverse. Wallahu a’lam bisshowab.