Oleh: Agus Maulana,
Ketua Umum Forbis IKPM Gontor
FORBIS.ID– Pagi itu, Cirebon berselimut suasana haru dan syukur. Di tengah semarak kegiatan Napak Tilas 100 Tahun Gontor yang digelar di Keraton Kasepuhan dan Pendopo Bupati Cirebon, Ahad, 3 Agustus 2025, langkah-langkah penuh keberkahan diarahkan ke satu titik penting: sebuah lahan wakaf di sudut kota, tempat harapan baru ditanamkan—Mahad Tahfidz Khadijah.
Di tanah yang masih mentah itu, dua sosok besar Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor, KH Hasan Abdullah Sahal dan KH Akrim Mariyat, berdiri dengan wajah teduh. Mereka tidak sekadar datang untuk meletakkan batu pertama, tapi juga membawa restu, doa, dan semangat yang telah diwariskan selama seabad perjuangan. Hadir pula KH Masyhudi Sobari (Direktur KMI), Ust Ismail Budi Prasetyo (Ketua YPPWPM), Ust Noor Syahid (Ketua Umum PP IKPM Gontor), dan Ust Saepul Anwar (Ketua I PP IKPM) serta para tamu undangan lainnya.
Bagi Ust Sefi Khirijil Yaman, alumni Gontor 1995 yang kini menjadi Wakil Ketua Umum Forbis IKPM Gontor sekaligus pendiri Ma’had ini, hari itu adalah puncak dari doa yang panjang. Di hadapan para guru yang ia hormati dan para sahabat sejawat yang mendampingi, ia tak kuasa menyembunyikan rasa haru.

“Ini bukan hanya tentang batu pertama,” ujarnya lirih namun pasti, “ini tentang impian yang saya genggam sejak menjadi santri, impian yang tak pernah lepas dari bisikan dan dorongan guru-guru saya, juga dari dorongan sahabat sekaligus Ketua Umum Forbis, Ust Agus Maulana.”
Sefi bukan sekadar pengusaha. Ia dikenal sebagai pemilik Chefis Resto yang menghadirkan cita rasa Arabian Food di berbagai kota, dan pemilik pabrik saos dan kecap di bawah bendera PT Surabraja. Tapi hari itu, ia bukan berbicara sebagai seorang pebisnis—melainkan sebagai seorang anak yang sedang mempersembahkan bakti terbaik bagi ibunya.

Gedung pertama Ma’had Tahfidz ini dinamai Rufiah Building, nama ibunda tercinta: Bu Rufiah. Sosok tangguh berusia 93 tahun yang hadir langsung di lokasi peletakan batu pertama. Wajahnya berseri, tubuhnya terlihat lebih bugar dari biasanya. Matanya basah, namun bibirnya terus tersenyum. Hari itu, satu impian dalam hidupnya menjadi nyata—anaknya membangun pesantren.
Impian itu telah ia simpan rapat sejak Sefi kecil pertama kali menjejakkan kaki di Gontor. Ia mendambakan ada di antara anak-anaknya yang kelak membangun pesantren. Dan kini, di usia senja, ia menyaksikan mimpi itu menjadi kenyataan.
Bu Rufiah bukan wanita biasa. Sejak suaminya wafat saat usia anak-anak mereka masih belia, ia menjadi single parent bagi 13 anaknya. Ia tidak hanya membesarkan mereka dengan kasih sayang, tetapi juga meneruskan roda usaha keluarga: produksi kecap dan kaos Surabraja, yang kini tumbuh menjadi merek lokal yang diperhitungkan.
Kini, dari rahim perjuangan dan ketabahan itu, tumbuh sebuah lembaga tahfidz yang insyaAllah akan melahirkan generasi Qur’ani dan pejuang dakwah masa depan.

Bagi kami di Forbis IKPM Gontor, Ma’had Tahfidz Khadijah bukan satu-satunya. Tapi setiap rintisan pesantren yang dibangun oleh para alumni pengusaha adalah kisah tersendiri tentang cinta dan cita. Cinta kepada Gontor. Cita untuk terus menebar manfaat.
Ust Anas Asrofi mendirikan Sari Bumi Boarding School di Wonosalam. Ust David Rusdianto menggagas Pesantren Teknologi Majapahit (PTM) di Mojokerto. Ust Irwan Budi membina Pondok Tahfidz Preneur di Klaten. Ust M. Abd Ghoffar membangun Pondok Almahira di Majalengka. Dan saya sendiri berkhidmat di Pondok Modern Darul Falah Cimenteng, Subang.
Kami hanyalah sebagian dari ratusan alumni pengusaha yang sedang dan akan terus bergerak, berkontribusi, mewakafkan diri dan hartanya untuk pendidikan Islam.
Peletakan batu pertama Ma’had Khadijah hari itu, bukan hanya mengukir sejarah baru di Cirebon. Ia adalah bukti bahwa pesantren bukan hanya milik kiai. Pesantren adalah milik siapa saja yang cinta ilmu, cinta Qur’an, dan cinta perjuangan.
Dan hari itu, impian seorang ibu yang tulus telah membimbing langkah anaknya. Bukan untuk dirinya semata, tapi untuk generasi yang akan datang.