Catatan ~Admin Forbis

Begini Rasanya Berpuasa di Kota Persahabatan Brasil

Begini Rasanya Berpuasa di Kota Persahabatan Brasil Raisa Shahrestani (jilbab) berada di tengah-tengah keluarga besar suaminya yang memeluk agama Katolik saat berbuka puasa bersama. Foto: Dokumen Pribadi Raisa Shahrestani

PERDOES, sebuah kota kecil di atas bukit, sungguh memesona. Kesejukan udaranya, ketenangan kotanya, dan semerbak aroma kopi dari pabrik kopi Itau yang sangat terkenal kelezatannya di bagian selatan Minas Gerais itu tentu saja patut disyukuri.

Merasakan momen langka berpuasa Ramadan di negara kelahiran para pesebak bola ternama, Pele, Kaka, Neymar, dan lainnya, bisa dibilang sangat berkesan. Berbeda dengan kota-kota lain di Brasil, seperti Rio de Janeiro, Sao Paulo, dan Curitiba yang memiliki jejak keislaman, di Perdoes tidak ada masjid. Mungkin saat ini, saya, suami, dan putra kami sajalah sebagai muslim yang ada di Perdoes.

Perbedaan waktu berpuasa di kota Perdoes tidaklah jauh dengan Indonesia. Berkisar pukul 05.00 untuk waktu imsak dan Subuh serta pukul 18.00 untuk berbuka. Makanan berbuka puasanya di sini yang jauh berbeda dari takjil di Indonesia. Di Perdoes, kami lebih sering membeli kudapan dan bolu khas penduduk lokal. Kroisan isi ayam, bolu wortel yang menjadi favorit kami sekeluarga, puding karamel, yoghurt sepanjang masa yang tidak berubah bentuknya sejak suami masih kecil, jus lemon, dan cokelat Brasil sering terhidang di meja untuk berbuka puasa. Karena di keluarga besar tidak ada yang menjalankan puasa Ramadan selain saya dan suami, kami terbiasa menyiapkan makanan secara cepat dan sederhana.

Di negara dengan mayoritas penduduk beragama Katolik ini, tidak heran jika di kota-kota kecil seperti Perdoes masih asing dengan Islam (muslim). Saat saya berjalan di sekitar rumah atau di pusat kota, banyak warga menatap saya yang berbusana muslimat dengan penuh keheranan. Walau demikian, ketika berpapasan, mereka tidak segan untuk menyapa dengan ramah. Ada beberapa orang yang langsung mengajak saya mengobrol dan bertanya mengapa saya memakai kerudung dan apakah saya orang Arab.

Beberapa tanggapan penduduk lokal di kota ini tentang Ramadan pun sangat unik. Ada yang merasa sangat prihatin atas kesehatan kami karena tidak makan dan minum sejak awal hari hingga matahari terbenam. Ada yang dengan takjub dan mengatakan pasti umat Islam mendapatkan ganjaran yang sangat besar dari Tuhan.

Memang penduduk kota Perdoes tidak familier dengan Islam. Masih jelas di ingatan saya raut wajah penuh tanya sang guru kelas putra kami mengetahui saya sebagai muslim. Sejak saat itu, sang guru mengaku ingin mengetahui tentang Islam dari internet.

Sebagai seorang mualaf di tengah keluarga besar yang beragama Kristen, suami saya menjadi juru bicara atas semua pertanyaan tentang bagaimana kebiasaan seorang muslim dan kehidupan di Indonesia. Yang terkesan, warga di Perdoes sangat menghargai setiap aktivitas kami. Mereka menyambut pendatang baru di kotanya dengan tangan terbuka dan ramah. Kami pun sangat bersyukur dan akan selalu mengingat kebaikan-kebaikan penduduk kota ini. Pantaslah bahwa kota Perdoes dijuluki sebagai Cidade da Amizade, yang berarti ‘Kota Persahabatan’.

ditulis oleh:
Raisa Shahrestani Orang Indonesia berdomisili di Brasil
pernah publikasi di: mediaindonesia.com (https://mediaindonesia.com/ramadan/487748/berpuasa-di-kota-persahabatan-brasil)