Catatan ~Husain Sanusi

Perempuan-Perempuan Hebat di Balik Perjuangan Pendiri Gontor

Perempuan-Perempuan Hebat di Balik Perjuangan Pendiri Gontor

Forbis.id – Di tengah gemuruh sejarah besar Pondok Modern Darussalam Gontor yang berusia 100 tahun, terdapat nama-nama tak selalu terdengar di panggung utama. Mereka adalah perempuan-perempuan tangguh yang mengabdikan hidupnya di balik layar, menopang perjuangan para pendiri pesantren ini. Kisah mereka adalah tentang keberanian, pengorbanan, dan cinta yang tidak terukur.

Dari Ibu Nyai Sudarmi, seorang ibu yang melahirkan KH. Ahmad Sahal, KH Zaenudin Fananie, KH Imam Zarkasyi (Trimurti), hingga para istri mereka — perempuan-perempuan ini bukan hanya pendamping, tetapi juga pejuang sejati. Mereka adalah pilar yang memastikan api perjuangan terus menyala, bahkan di saat-saat tergelap sekalipun.

Perempuan-Perempuan Hebat di Balik Perjuangan Pendiri Gontor

Saat K.H. Santoso Anom Besari (Ayah Trimurti) wafat pada tahun 1918, Pondok Gontor berada di ambang kehancuran. Santri menghilang, kegiatan pesantren terhenti, dan hanya tersisa masjid tua dengan atap yang berlubang.

Namun, di balik kekosongan itu, ada Ibu Nyai Sudarmi, seorang ibu yang ditinggal meninggal dunia suaminya dengan tujuh anak yang masih kecil-kecil, termasuk tiga putranya yang kelak dikenal sebagai Trimurti.

Ibu Nyai Sudarmi tidak menyerah. Ia memilih melawan takdir yang nyaris menghentikan wasiat dari leluhurnya para ulama besar Pesantren Tegalsari, untuk kembali menghidupkan Pondok Gontor yang sudah berada di ambang kemusnahan.

Dengan doa sebagai senjata utama, ia membawa anak-anaknya menghadap para ulama, memohon doa restu untuk masa depan mereka. Seorang saksi menyebut bahwa Gontor, pada masa itu, hanya ada dalam doa Ibu Nyai Sudarmi. Doa itulah yang kemudian menjadi tiang spiritual yang menopang kebangkitan pondok Gontor.

Ia tidak hanya mendoakan, tetapi juga mendidik anak-anaknya dengan penuh keteguhan. Ibu Nyai Sudarmi sering berkata, “Sinau, sinau, sinau,”—belajarlah, belajarlah, belajarlah—mengajarkan mereka bahwa ilmu adalah jalan menuju kemuliaan.

Bukan hanya lewat doa, Ibu Nyai Sudarmi juga mengorbankan hartanya untuk keberlangsungan pendidikan anak-anaknya hingga Trimurti tumbuh menjadi pemimpin yang tidak hanya membangkitkan Gontor, tetapi juga merevolusi pendidikan pesantren di Indonesia.

Peradaban besar Gontor ternyata lahir dari seorang ibu Nyai Sudarmi yang dengan segala keterbatasannya kembali menyalakan api yang sudah mulai redup tersebut.

Ibu Nyai Sutichah, Istri K.H. Ahmad Sahal adalah perempuan sederhana yang berasal dari keluarga priayi di Ponorogo. Beliau merupakan santriwati Tarbiyatul Athfal, sebuah lembaga rintisan K.H. Ahmad Sahal ketika beliau membuka kembali Pondok Gontor pada tahun 1926.

Ibu Nyai Sutichah disekolahkan dalam kursus di Surabaya, yang setara dengan pendidikan kejuruan pada masa itu. Pendidikan ini memberinya kemampuan dasar yang berguna dalam mendukung perjuangan K.H. Ahmad Sahal. Ia dikenal sebagai sosok yang cakap, ramah, dan sangat mendukung langkah-langkah K.H. Ahmad Sahal.

Ibu Nyai Sutichah mendampingi suaminya sejak awal berdirinya Pondok Modern Gontor. Ia mendukung kegiatan pondok, termasuk membantu administrasi dan operasional pondok, serta mengelola hubungan dengan masyarakat sekitar. Ketika K.H. Ahmad Sahal sibuk membangun pondok, istrinya menjaga harmoni keluarga dengan penuh keikhlasan, bahkan dalam kondisi yang serba sulit.

Sementara Ibu Rabiah, Istri K.H. Zainuddin Fananie berasal dari lingkungan aktivis keislaman. Ia adalah seorang perempuan yang pernah aktif di organisasi pelajar Islam dan dikenal sebagai mubalighah yang cerdas.

Pernikahan mereka terjadi setelah bertemu dalam sebuah perhelatan keagamaan, di mana K.H. Zainuddin Fananie bertindak sebagai mubaligh.

Istri K.H. Zainuddin Fananie berasal dari keluarga yang juga memiliki latar belakang pendidikan Islam yang kuat. Beliau mendukung karier suaminya, yang pada masa itu berkiprah di Kementerian Sosial hingga menjadi salah satu pejabat terkemuka.

Peran istri ini sangat signifikan dalam menjaga hubungan antara Gontor dan pemerintah, termasuk memperkuat jaringan yang memungkinkan Presiden Soekarno mengunjungi Gontor pada masa awal kemerdekaan.

Istri K.H. Imam Zarkasyi, Ibu Siti Partiyah berasal dari keluarga yang memiliki hubungan erat dengan Pesantren Tegalsari. Ayahnya seorang priayi bernama R. Saekun Sastroprawiro, satu-satunya mantri cacar zaman Belanda untuk seluruh wilayah Karesidenan Madiun yang bertugas memberikan vaksinasi kepada masyarakat.

Sementara, ibunya Muqimah Saekun berasal dari keluarga Kiai Joresan yang masih memiliki hubungan keluarga dengan Pesantren Tegalsari.

Kalau ibunda K.H. Imam Zarkasyi, Nyai Kholifah merupakan putri Kiai Ageng Muhammad Besari yang keenam, maka ibu Muqimah berasal dari putra kelima, yaitu Kiai Ishak yang menjadi Kiai Coper di Ponorogo.

Keturunan Kiai Ishaq yang keempat, yaitu Mangunrejo menjadi Kepala Desa Joresan dan berputra tujuh orang, dua diantaranya menjadi Kiai utama di Pesantren Joresan. Nyai Muqimah putri Kiai Ishaq yang keempat menikah dengan R. Saekun Sastroprawiro yang kemudian melahirkan Siti Partiyah.

Ibu Siti Partiyah dikenal sebagai sosok intelektual dan religius. Ia menempuh pendidikan di sekolah kejuruan tingkat menengah Belanda, yang membuatnya mahir dalam bahasa Belanda dan sedikit bahasa Inggris. Kemampuan ini menjadikannya mitra yang sangat berharga bagi K.H. Imam Zarkasyi dalam berkomunikasi dengan tokoh-tokoh internasional yang datang ke Gontor.

Dalam mendukung perjuangan K.H. Imam Zarkasyi, istrinya aktif mendidik anak-anak mereka di rumah. Ia juga dikenal karena kepatuhannya terhadap nilai-nilai pondok dan kesetiaannya dalam mendukung visi besar suaminya. Salah satu kisah menarik adalah bagaimana ia berjanji kepada suaminya untuk mengajarkan bahasa Inggris kepada anak-anak mereka agar siap menghadapi dunia modern.

Kisah perempuan-perempuan tangguh di balik para pendiri Gontor adalah pelajaran abadi tentang keteguhan, pengorbanan, dan keikhlasan. Mereka adalah pilar tak terlihat yang menopang perjuangan besar dalam membangun Pondok Modern Gontor.

Gontor memahami pentingnya peran perempuan dalam membangun umat. Dengan berdirinya Pondok Modern Gontor Putri, nilai-nilai yang diwariskan oleh para perempuan tangguh ini dilanjutkan ke generasi berikutnya. Santriwati dididik untuk menjadi ibu yang mampu mendidik generasi mendatang dan mendukung perjuangan keluarga mereka.

Kisah perempuan-perempuan hebat di balik Gontor mengajarkan bahwa sejarah besar tidak pernah ditulis sendirian. Di balik setiap langkah besar, ada tangan-tangan lembut yang penuh pengorbanan, mendukung dari balik layar. Nyai Sudarmi dan istri pendiri Gontor adalah bukti nyata bahwa perempuan memiliki peran yang sangat besar dalam membangun masa depan. Peran mereka adalah teladan, tidak hanya untuk para santri di Gontor, tetapi juga untuk setiap perempuan yang ingin menjadi bagian dari perjuangan besar umat.

*_Tulisan ini disarikan dari webinar yang digelar Alumni Gontor Tahun 2000 bertajuk “Perempuan-Perempuan Tangguh di Balik Perjuangan Trimurti Pendiri Gontor,” dengan narasumber utama, K.H. Ahmad Hidayatullah Zarkasyi. Webinar bisa diakses lewat link youube berikut: Klik Video Disini