FORBIS.ID– Pesantren Tegalsari di Ponorogo bukan hanya menjadi pusat pendidikan Islam, tetapi juga menjalin hubungan yang erat dengan pemerintahan kerajaan dari abad ke-18 hingga abad ke-19.
Hubungan ini menggambarkan bagaimana peran ulama tidak hanya terbatas pada pengajaran agama, tetapi juga mencakup peran strategis dalam sosial-politik, khususnya dalam menjalin keseimbangan antara agama dan kekuasaan.
Pesantren Tegalsari memiliki keterkaitan erat dengan perjuangan Islam di Jawa, khususnya melalui peran Bethoro Katong dan Kiai Ageng Muhammad Besari.
Kiai Ageng Muhammad Besari merupakan ulama kharismatik yang mendirikan pesantren ini sebagai pusat keilmuan Islam, termasuk di era kekinian genealogi pesantren-pesantren besar di Pulau Jawa salafiyah maupun ashriyah berjejaring secara nasab keilmuan maupun nasab biologis dengan pesantren Tegalsari.
Kiai Ageng Muhammad Besari memainkan peran penting dalam membangun hubungan awal antara pesantren Tegalsari dan pemerintahan. Pada tahun 1742, ketika Pakubuwana II (PB II) melarikan diri akibat Geger Pecinan, ia mengungsi ke pesantren Tegalsari.
Kiai Ageng Muhammad Besari tidak hanya memberikan perlindungan, tetapi juga membantu PB II merebut kembali Kartasura. Sebagai balas jasa, PB II memberikan tanah perdikan kepada Tegalsari dan menjadikan Kiai Ageng sebagai penghulu kerajaan. Hal ini menjadi tonggak hubungan erat antara pesantren dan istana.
Meski demikian, Kiai Ageng Muhammad Besari menerapkan kebijakan netralitas saat menghadapi konflik internal kerajaan, seperti dalam Perang Suksesi III.
Dalam perang ini, ia tidak berpihak kepada PB II, Pangeran Mangkunegaran, maupun Pangeran Mangkubumi. Sikap ini bertujuan menjaga marwah pesantren sebagai lembaga pendidikan dan keagamaan yang independen. Sikap serupa ditunjukkan oleh keturunannya, termasuk Kiai Ageng Khasan Besari, saat Perang Jawa (1825-1830) yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro.
Pesantren Tegalsari di bawah kepemimpinan Kiai Ilyas dan Kiai Ageng Khasan Besari menjadi tempat pendidikan bagi para calon pejabat kerajaan. Yosodipuro II, seorang pujangga besar Surakarta, merupakan salah satu alumnus Tegalsari.
Hubungan ini memperkuat kedekatan pesantren dengan istana, menjadikan Tegalsari sebagai pusat pembentukan kader-kader intelektual dan pemimpin kerajaan.
Nyai Murtosyiah, istri Kiai Ageng Khasan Besari, yang merupakan putri PB III, memperkuat hubungan antara pesantren dan istana. Ia memperkenalkan seni batik yang sebelumnya hanya dikenal di lingkungan keraton kepada masyarakat Ponorogo.
Langkah ini memperkaya dinamika sosial-budaya pesantren Tegalsari, sekaligus memperluas pengaruh pesantren di luar lingkup keagamaan.
Pada masa PB IV, pesantren Tegalsari menjadi bagian penting dalam menjaga stabilitas kerajaan. Walaupun PB IV menghadapi tekanan dari Belanda, pesantren Tegalsari tetap memegang peran sebagai tempat konsultasi spiritual dan pendidikan bagi para abdi dalem kerajaan.
Kiai Ageng Khasan Besari menunjukkan loyalitasnya dengan memberikan dukungan moral, tanpa terlibat langsung dalam konflik politik.
Hubungan antara para kiai Tegalsari dan pemerintahan kerajaan mencerminkan sinergi yang saling menguntungkan.
Para kiai memainkan peran sebagai penasihat spiritual, mediator konflik, dan pendidik elit kerajaan, sementara kerajaan memberikan dukungan untuk kelangsungan pesantren.
Teladan ini menunjukkan bagaimana ulama dapat memainkan peran strategis dalam politik dan pemerintahan tanpa kehilangan independensinya. Pesantren Tegalsari menjadi bukti nyata dari hubungan harmonis antara agama dan kekuasaan di Nusantara.