Catatan ~Admin Forbis

Refleksi Sewindu: Gerakan Darul Falah Cimenteng Menuju Kemandirian Pesantren

Refleksi Sewindu: Gerakan Darul Falah Cimenteng Menuju Kemandirian Pesantren K. Khoirul Imam, Pengasuh Pondok Pesantren Tahfidz Al-Qur’an Ibnu Sina, Yogyakarta.

FORBIS.ID– Dalam salah satu ungkapan Arab disebutkan, al-insânu ya’tî bilâ syai’, tsumma yas’â warâ-a kulla syai’, tsumma yatruku kulla syai’, wa yadzhabu bilâ syai’, tsumma yuhâsibu ‘alâ kulli syai’ Artinya kurang lebih begini: Manusia datang di kehidupan ini tanpa membawa sesuatu, lalu hidup di dunia berusaha mengejar segala sesuatu, kemudian ia tinggalkan segala sesuatu, dan pergi tanpa membawa sesuatu. Akhirnya, ia akan dimintai pertanggungjawaban atas segala sesuatu.

Jika kita boleh kaitkan, ungkapan di atas inilah yang menjadi pelecut kesadaran para pelukis peradaban, dari para nabi hingga para ulama. Mereka sadar betul; lahir tanpa membawa sesuatu, dan mati pun tak menjinjing sejumput tanah sekalipun.

Abadinya umat ini tak lain dari semangat juang para pendahulu. Mereka tak lagi berpikir untuk diri sendiri. Merelakan seluruh harta benda duniawinya untuk perjuangan memajukan umat dan bangsa. Mewakafkan harta benda, bahkan jiwanya demi satu perjuangan: pendidikan.

Dari sinilah wakaf bermula. Utamanya wakaf pendidikan yang menjadi gerak laju hidupnya peradaban manusia dalam mengarungi semesta.

Nyaris tak ada satu pun etape peradaban Islam yang tidak ada jejak wakaf. Dari Mekah ke Madinah, dari Al-Azhar Mesir hingga PM Gontor, menuju Darul Falah Cimenteng, kita melihat bagaimana wakaf secara nyata mampu menggerakkan roda pendidikan dan pengajaran di sana.

Di Cimenteng, kita menyaksikan para pejuang pendidikan tanpa pernah memprotes keadaan dan imbalan. Mereka terselip di tengah keramaian, dan hanya berharap belas kasih Tuhan. Di sudut-sudut bumi yang sunyi, mereka tersembunyi dari hiruk pikuk duniawi.

Tak ada yang tahu, dan tak sibuk memberitahu. Mereka yakin perjuangannya dicatat dalam buku besar amal, langkahnya terekam jelas dalam ingatan zaman.

Memasuki Darul Falah, kita seakan dibawa ke lorong waktu. Sebelum sampai sana, kita diliputi jejak dan petilasan; Memasukinya penuh tanda tanya; kapan sampai tujuan.

Jalan berliku, terjal, dan penuh tanjakan. Sekadar pepohonan dan bebatuan menghiasi pandangan. Namun cukup melegakan. Udara segar, menyejukkan. Suasana damai dan nyaman, tanpa kebisingan.

Setelah sekian penasaran, sampailah kita. Hamparan santri menyambut dengan penuh senyuman. Ahlan wa Sahlan bi qudûmikum ilâ hâdza al-ma’had.

Berjajar dan berbaris rapi para pejuang pengetahuan. Buyar semua syak wa sanka kita, disuguhi kemewahan yang dibalut dengan kerendahan hati. Kemegahan dalam kesederhanaan. Darul Falah Cimenteng seakan menampar kita sembari berkata, “Begini ini loh buat pesantren itu!”

Di tengah dusun terpencil, ada pondok yang luas lengkap dengan ragam fasilitas. Gedung-gedung indah nan asri, lapangan basket, bulu tangkis, ruang-ruang kursus; menjahit, laboratorium komputer, dan masib banyak lainnya. Tak ada jemuran tampak dari luar.

Tak ada sandal hilang atau tertukar, semua tertata pada rak-rak tersedia. Tak ada sampah berserak, semua terolah secara sempurna. Semua tersusun dengan kesadaran. Santri-santri yang khas; kemeja bersih dengan sabuk dan sepatu ndendi, rapi jali. Namun tetap sopan dan ramah menyapa setiap yang datang.

Di sana-sini tanah pondok luas, di dalamnya Dafa Dreamland yang beberapa waktu lalu diresmikan. Rencananya sebagai sarana wakaf produktif pesantren.

Ada perkebunan alpukat di area 1000 M2, arena bermain, tempat camping, dll. Tanah yang semula 1600 M, sekarang telah mencapai 25 hektare, seperti dicita-citakan pengasuhnya KH. Agus Maulana 5 tahun silam. Beliau memotivasi santri-santrinya bahwa semua ini tidak mustahil terjadi karena kebesaran Allah Swt.. MasyâAllâh.

Pondok Pesantren Darul Falah Cimenteng ini sejak semula mendengarnya cukup mengganggu pikiran dan mengusik hati kita.

Sejak awal pendiriannya dicita-citakan untuk peradaban masyarakat bawah. Mengentaskan mereka dari buta pengetahuan dan ilmu agama. Tekad dakwah melalui lembaga pendidikan bagi kalangan tak mampu, khususnya dari pelosok wilayah Subang Jawa Barat.

Di tahun pertama, diawali dengan 7 santri. Namun pada tahun ketiga, jumlah santrinya melesat 230 santri. Terdiri dari masyarakat sekitar pesantren; Cimenteng, Cikadu, Cijambe. Berangkat dari niat lillah wa lil ummah, dalam satu bulan para santri hanya dipungut biaya 120 ribu ditambah beras 10 liter. Tentu hal ini mengagetkan kita. Ragam tanya bersautan, kok Bisa? Dari mana dananya? Bagaimana dengan kualitasnya?

Dengan dana seminimal itu, para pengasuh tak pernah mengabaikan fasilitas dan kualitas. Seperti disebutkan di atas, satu gambaran kemewahan dan kemegahan pesantren yang dibalut dengan kesederhanaan. Mereka berjibaku ke satu arah dan tujuan: pesantren mandiri.

Pesantren yang bisa menghidupi diri sendiri. Bukan pesantren yang menghidupi kiai. Tapi pesantren yang menggerakkan laju pendidikan dan pengajaran. Bukan pula pesantren tempat kalangan aristokrasi mengunggulkan diri.

Karena itulah, pesantren ini membangun unit-unit usaha yang mendorong kemandirian pesantren. Menghidupkan lahan perkebunan alpukat, durian, pertanian; saham di beberapa bengkel motor dan mobil, persewaan panggung, dll.

Ini semua tak lain dari kuatnya dorongan wakaf umat untuk pendidikan. Demi cita-citanya membebaskan para santri dari ketidaktahuan, sekaligus menyiapkan generasi dan kader-kader ulama-ulama yang intelek.

Sewindu sudah perjalanan Darul Falah Cimenteng. Banyak legasi ditanamkan. Di tahun pertama asrama sederhana untuk para santri dibangun. Tahun ketiga didirikan masjid wakaf dari Hj. Juju Juariyah. Digambar Pak Ariston tanpa bayaran.

Masjid Darul Falah kini berdiri megah. Menyambut tamu-tamu Allah beribadah. Diresmikan pada 8 Januari 2021 oleh Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor, KH. Hasan Abdullah Sahal

Di tahun ketujuh, diletakkan batu pertama Dafa Dreamland; di tahun kedelapan, menjadi momen penting peletakan batu pertama Dafatorium yang disaksikan segenap kiai dan alim ulama dari berbagai daerah. Sebuah site plan gedung pertemuan megah di tengah dusun yang ramah.

Untuk sebuah lembaga pendidikan, Darul Falah Cimenteng kini beranjak remaja. Tentu banyak lika-liku dalam perjalanannya. Menjalaninya tak semudah mengaguminya. Kita hanya bisa menyaksikan sepak terjangnya dari kejauhan.

Menyorakinya jika kalah, mengelukannya ketika menang. Laiknya perjuangan dalam berbagai medan. Kemenangannya dielu-elukan dan membuat decak kagum, namun kecenderungan kita melarikan diri dari pertempuran. Bersembunyi di bilik sunyi dan mencari aman.

Ini bukan perjuangan ekonomi, bukan pula urusan dunia lainnya; nama baik, jabatan strategis, harta benda, apalagi perebutan tambang. Ini pertempuran ideologis, penanaman ruhani, sekaligus pendidikan dan nilai-nilai pengajaran. Absurd.

Tapi nyata. Mereka berjuang bukan atas nama diri pribadi. Bukan untuk sebuah citra kebagusan, dan pesona di hadapan manusia. Namun perjuangan mencari ridha dan kecintaan di hadapan Tuhan. Karena wakaf adalah perjuangan tanpa batas. Wallâhu a’lam

Ditulis oleh: K. Khoirul Imam, Pimpinan Pondok Pesantren Tahfidz Al-Qur’an Ibnu Sina, Yogyakarta.