Achmad Nuril Mahyudin adalah seorang seniman lukis & kaligrafi yang meninggalkan studio lukisnya di pusat kota untuk mulai menggoreskan sentuhan-sentuhan kemanusiaan di kanvas nyata medan perjuangan sosial di pelosok-pelosok.
Ia juga sebenarnya seorang pengusaha. Ia pemilik dua produk tas berkualitas, yaitu butik amphibi dan reptile ,yang mana usernya adalah lembaga-lembaga ternama nasional dan internasional. Namun, ia tinggalkan usahanya itu dan ia memilih untuk terjun langsung di pedalaman selama berbulanbulan demi menyelamatkan thaharah masyarakat, membangun sumur-sumur di wilayah kering pelosok .
Banyak orang memberondongnya dengan pertanyaan apa yang didapatkannya dari perjuangannya ke pelosok pelosok daerah? Pertanyaan ini menghuni judul pertama dan menjadi ruh utama dari buku Humanity Journey.
“Buku ini merupakan kumpulan kisah-kisah yang menyentuh dan menggugah dari kisah-kisah nyata perjalanan kemanusiaan penulisnya di pelosok-pelosok hingga detik ini selama sekitar lebih dari seperempat abad,” jelas Azhimatul Noor Bashari Diyanti, editor skaligus istri dari penulis buku Humanity Journey, Achmad Nuril Mahyudin.
Dalam buku yang diterbirkan oleh penerbit Indie, perempuan yang akrab disapa Nora menjelaskan, penulis melalui gaya bahasanya yang khas, kuat dan orisinil mengungkapkan apa saja yang ia dapat dari aktivitas sosial yang dia lakoni selama puluhan tahun.
Menurutnya, kisah-kisahnya yang terdapat di dalam buku tersebut benarbenar di luar kebiasaan manusia. Membaca jalinan cerita satu demi satu, akan membuat hati pembaca percaya bahwa kesenangan batin adalah kesenangan yang sesungguhnya Alumni Gontor Putri tahun 2000 itu menambahkan, ketulusan dari kisah-kisah nyata perjuangan sosial dari pelosok yang terpinggirkan telah menggamblangkan pikiran dan hati ini. Membangkitkan kesadaran pembaca yang seringkali tertidur, untuk kembali menyerap pesan-pesan kebaikan yang tak tanggung-tanggung.
Salah satu kisah inspiratif bagi sang penulis adalah kisah seorang buruh tani yang paling miskin di suatu dusun. Ia rela menabung rupiah demi rupiah dan berpuasa agar dapat membeli hewan qurban di hari Idul Adha.
“Bisa dibayangkan kawan, itu adalah momen pertama penyembelihan hewan qurban di dusunnya. Sebelumnya perayaan dan makan daging kurban seakan dongeng belaka,” cerita Nora dari buku tersebut.
Dalam cerita tersebut, tambah Nora, si petani miskin tersebut mengumpulkan uang untuk membeli hewan kurban dengan mengurangi jatah makannya selama setahun dengan berpuasa dan menambah pekerjaannya sehingga ada uang tambahan untuk membeli hewan kurban.
“Ternyata ada orang-orang pilihan Allah SWT yang berhati mulia, yang hidup diantara himpitan kemiskinan, yang belajar bangkit dengan cepat. Menangkap nilai dengan kegigihan.” Katanya. Selain itu, sang penulus yang juga alumni Gontor tahun 1989 itu juga menceritakan dalam karyanya tentang seorang cacat kaki, yang bila berjalan mesti bertumpu pada dua kaki dan tangannya.
Bersama istri yang juga penjual daun singkong, dengan tulus mewakafkan tanahnya untuk pembangunan masjid dan madrasah di dusunnya. “Mereka memang hidup penuh keterbatasan.
Namun keduanya mampu berbuat sebagaimana orang yang hidupnya sangat leluasa,” lanjut Nora
Masih banyak kisah-kisah kemanusiaan lainnya yang dikuatkan dengan 16 halaman foto-foto berwarna yang otentik dan merupakan dokumentasi eksklusif sang penulis, sehingga membantu pembaca untuk lebih meresapi kejadian-kejadian di lapangan pergerakan sosial yang fakta adanya.
Cerita perjuangan yang sangat menyentuh dan memberikan sejuta rasa di hati ini. Terkadang hati menjadi sedih, lalu sontak bahagia, dan tetiba tertawa terpingkal-pingkal membaca kisah kepolosan dari saudara kita di titik jauh yang butuh sentuhan kasih sayang kita. Juga, kegigihan sang pelaku yang juga penulis buku ini dalam menghadapi serta melayani berbagai tuntutan kebutuhan masyarakat di pelosok. Melalui karyanya tersebut, jelas Nora, penulis mengajarkan kepada semua manusia tentang bagaimana memperdaya harta dan bukan malah diperdaya oleh harta.
Sebagaimana yang telah dicontohkannya selama ini dengan menyumbangkan 99% hartanya untuk perjuangan. Dalam buku ini juga diceritakan bagaimana perjuangannya selama ini, akhirnya tercium oleh media, dan membawanya kepada panggung penghargaan Love & Care Award dan menerima anugerah gelar Pahlawan untuk Indonesia versi salah satu media TV nasional Indonesia pada tahun 2014 silam. Sebuah anugerah yang menurut penulis adalah sebuah apresiasi kemenangan untuk masyarakat lapis bawah.