Inspirasi ~Admin Forbis

Stigma Anak Macan: Membangun Kultur dan Struktur Alumni Gontor

Stigma Anak Macan: Membangun Kultur dan Struktur Alumni Gontor Ust. Agus Maulana, Ketua Umum FORBIS IKPM Gontor

Anak Gontor itu macan semua. Tidak bisa disatukan dalam satu kandang. Jika dipaksakan, bisa jadi ada macan yang terluka karena cakar cakaran. Atau justru kandangnya yang hancur.”

Perumpamaan di atas sering terdengar di kalangan alumni Pondok Modern Darussalam Gontor.

Bahkan seakan sudah menjadi stigma. Seolah-olah menjadi dalil tidak tertulis, bahwa kerjasama antaralumni itu tidak akan berjalan mulus.

Pasti gagal. Bahkan sering berujung pada putusnya hubungan silaturahim. Jadi, lebih baik dihindari.

Benarkah?

Tidak sedikit di antara kita yang termakan stigma tersebut dan membenarkannya. Hal ini merujuk pada beberapa kasus yang terjadi. Biasanya terjadi di Marhalah atau Angkatan.

//
//
// iklan google //
//

Seperti kita pahami, setelah menempuh pendidikan di Gontor, para alumni melanjutkan pendidikan dan pengabdian masyarakatnya ke berbagai penjuru Nusantara bahkan dunia.

Bertahun-tahun tidak bertemu. Hingga pada suatu saat, setelah puluhan tahun, dipertemukan kembali melalui sebuah ajang reuni atau event silaturahim lainnya.

Tentu keadaannya sudah banyak berubah. Sudah banyak yang sukses, baik dalam karir, bisnis maupun bidang lainnya.

Di sinilah biasanya mulai terjalin kembali komunikasi dan saling tukar informasi.

Berbekal memori kebersamaan mereka pada saat sama-sama mondok, beberapa di antaranya melanjutkan komunikasi tersebut ke arah kerjasama. Rindu ingin bersama-sama lagi.

Ada yang membentuk usaha bersama, membangun pondok bersama, ada juga yang bekerjasama antarbeberapa orang saja.

Semuanya dilakukan dengan simpel. Bermodalkan kepercayaan dan memori kebersamaan masa lalu. Apalagi satu marhalah. Mosok sih mau macam-macam.

Salahkah?

Tentu tidak. Tapi ada satu hal yang terlupakan. Kerjasama, apalagi dalam bisnis, tidak bisa hanya semata-mata didasarkan pada kepercayaan.

Memori nostalgia masa lalu atau hanya karena sama-sama lulusan Gontor. Satu almamater. Sehingga semuanya dianggap selesai.

Kegagalan yang terjadi di kemudian hari, biasanya diakibatkan oleh ketidakcukupan informasi awal sebelum kerjasama.

Tidak dilakukan kajian dan analisa bisnis yang mendalam. Begitu ada tawaran dan peluang, langsung hajar dan eksekusi. Euforia dan semangat menggebu-gebu.

Pihak-pihak yang terlibat, sejatinya tidak memahami dengan baik apa yang sedang dikerjakan bersama.

Hanya bermodal kepercayaan dari informasi awal yang disajikan.

Bahkan saking simpelnya, tidak ada aspek legalitas yang dibuat. Modal disetor begitu saja. Bisnis dijalankan tanpa laporan berkala dan pengawasan.

Tidak ada mitigasi dan pembicaraan tentang manajemen risiko. Tidak ada penelusuran terkait track record dan riwayat dari pihak-pihak yang terlibat dalam kerjasama tersebut.

Ini dianggap tabu dan berlebihan. Suudzan katanya.

Seiring berjalannya waktu, mulai muncul berbagai persoalan yang tidak pernah dibicarakan dan dibuatkan rules-nya.

Mulai saling menyalahkan. Kepercayaan berubah menjadi ketidakpercayaan.

Apalagi yang menjalankan memang faktanya tidak amanah. Tapi tidak pernah ada pengawasan dan kontrol sebelumnya.

Tidak dipastikan sejak awal, bahwa urusan bisnis yang dilakukan bersama ini harus dipisahkan dari urusan pribadinya.

Sehingga rawan konflik dan penyimpangan yang tidak terawasi.

Atau bisnisnya memang tidak beruntung alias rugi. Bisa saja terjadi kan? Tapi para pihak tidak siap rugi.

Saling menuntut tanpa pijakan aturan yang jelas. Tidak pernah dipersiapkan dalam benaknya, bahwa kerjasama, termasuk bisnis, itu mempunyai dua sisi ke depan: untung atau rugi, berhasil atau gagal. Bagaimana penyelesaiannya ketika bisnis tersebut gagal dan harus shut down?

Dari sinilah pangkal persoalan ini muncul. Penyelesaian persoalan tidak mempunyai rules atau pijakan yang jelas. Saling claim kebenaran dan sangat subjektif.

Bahkan tidak jarang berujung pada putusnya hubungan silaturahim. Pada titik ini, seakan menjadi pembenaran atas stigma di atas. Kerjasama antaralumni itu pasti gagal, pasti bermasalah.

Mendingan silaturahim biasa saja, ngobrol ngalor ngidul saja. Reuni kangen-kangenan saja.

Anda setuju?

Dalam suatu kesempatan Pembukaan Forbis Expo di Kampus Pondok Modern Gontor, KH Hasan Abdullah Sahal menyampaikan dua hal penting dalam hubungan komunikasi antaralumni yakni Kultur dan Struktur.

Kita ini kuat, bahkan sangat kuat, dalam Kultur. Tapi masih lemah dalam Struktur. Begitu disampaikan Pak Kiai.

Gontor sebagai lembaga pendidikan, mengajarkan kehidupan kepada para santrinya. “Apa yang kamu lihat, apa yang kamu rasakan, apa yang kamu kerjakan, selama di pondok, itu adalah pendidikan.” Demikian Gontor menanamkan konsep pendidikan kepada para santrinya.

Maka tidak heran, denyut kehidupan dan proses pendidikan di Gontor berlangsung 24 jam penuh. Mulai dari bangun tidur, sampai tidur lagi. Semua dengan detail diatur dan dikondisikan sebagai sebuah pendidikan tentang kehidupan bagi para santrinya.

Interaksi antarsantri berlangsung dalam setiap sendi kehidupan pondok. Mulai dari pengelolaan asrama/rayon, kelas, kegiatan keorganisasian, klub olahraga, kesenian, dan lain lain. Santri terlibat dan dilibatkan langsung dalam setiap kegiatan dan aktivitas pondok.

Diberi ruang dan tanggung jawab. Interaksi dan kebersamaan ini berlangsung selama setidaknya 4 tahun atau 6 tahun masa pendidikan di Gontor. Apalagi dengan rekan sesama angkatan.

Di sinilah Kultur itu terbentuk. Di antaranya, semangat dan daya juang yang tinggi. Man Jadda Wajada.

Totalitas dalam setiap tugas dan tanggung jawab. Kemampuan beradaptasi dan melakukan penyesuaian lingkungan.

Dominan dalam setiap kesempatan. Bahkan cenderung Yahanu, percaya diri tinggi kendatipun kemampuan ala kadarnya dalam bidang tertentu. Jarrib wa laahid takun ‘aarifan. Mempunyai kemampuan retorika dan tidak kekurangan ide, gagasan dan pemikiran.

Selalu berusaha tampil di depan, menjadi leader dan influencer. Suka tajammuk atau kumpul-kumpul dalam berbagai kesempatan untuk silaturahim. Rasa empati dan jiwa sosial yang tinggi.

Mudah akrab, cepat tune in dengan sesama alumni kendatipun berbeda tahun kelulusan bahkan generasi. Rasa taassubiyah/ group feeling kegontoran yang sangat kuat. Serta berbagai kultur positif lainnya.

Faktor kultur ini sangat penting, karena menyangkut kualitas pribadi seseorang, warna dari personality-nya. Kendati pun demikian, ketika dilakukan suatu kerjasama antarberbagi pihak, untuk mencapai suatu tujuan bersama, faktor kultur saja belum cukup.

Di sinilah pentingnya struktur yang kuat dan memadai, karena melibatkan banyak pihak.

Dalam sebuah hubungan antarpihak, termasuk kerjasama bisnis, perlu adanya aspek legalitas yang jelas dari awal. Legalitas yang mengatur berbagai hak dan kewajiban.

Menjelaskan tugas, kewenangan dan tanggung jawab. Skema penyelesaian konflik dan seterusnya.

Sebelum melakukan kerjasama bisnis, misalnya, para pihak hendaknya mengerti dan memahami apa yang akan dijalankannya.

Bisa jadi seseorang paham dan menguasai suatu bidang tertentu, tapi sama sekali atau hanya sedikit memahami bidang lainnya di luar yang selama ini ditekuni.

Pada situasi seperti ini, kita bisa memakai jasa atau bantuan pihak lain untuk membuatkan kajian dan analisa bisnis termasuk mitigasi risiko, perhitungan atau kalkulasi potensi keuntungan dan kerugian serta berbagai aspek lainnya.

Sehingga kita bisa mendapatkan deskripsi yang jelas dan terukur dari sesuatu yang tidak kita pahami sebelumnya.

Manajemen atau pengelolaan usaha juga termasuk dalam aspek struktur yang penting. Kerjasama bisnis harus dibangun dengan struktur prefesionalisme.

Tidak bisa dilakukan dengan pertimbangan pertemanan atau kekeluargaan.

Bahasa bisnis berbeda dengan bahasa persahabatan. Semua itu harus didudukkan pada posisi dan porsi yang tepat. Harus ada pemisahan yang jelas antara urusan pribadi dan keuangan pribadi dengan urusan dan keuangan bisnis.

Apalagi ketika bisnis tersebut melibatkan pihak lain dalam kepemilikannya.

Kultur dan Struktur, sama-sama memiliki peran penting dalam menentukan keberhasilan dan kegagalan sebuah interaksi, kerjasama dan sinergi antarpihak, termasuk sesama alumni Gontor.

Kultur yang kuat harus ditopang oleh struktur yang kuat. Struktur yang kuat harus dibangun di atas kultur yang kuat.

Inilah yang sedang kita bangun di Forum Bisnis (Forbis) IKPM Gontor. []